Nestapa Anak
Pesisir
Cerpen Ni Luh Putu
Bhakti Vrinda Dewi
Putra,
seorang remaja yang hidup di Desa Nelayan, masih duduk di bangku SMP. Ia
tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayahnya bekerja sebagai nelayan dan ibunya
bekerja sebagai pengusaha kecil warung ikan bakar yang ada di pesisir pantai.
Sejak kecil, Putra sudah terbiasa dengan suasana pesisir pantai, suara ombak,
dan hembusan angin yang menenangkan. Putra sudah terbiasa dengan segala
kegiatan yang dilakukan oleh para nelayan di pesisir pantai Desa Nelayan. Ia
sering kali membantu di warung ikan bakar milik Ibunya. Saat itu, masih banyak
sekali ikan yang bisa ditangkap oleh ayahnya, ikan hasil tangkapannya juga
masih segar. Namun, seiring perkembangan waktu, ikan yang didapat oleh ayahnya
semakin sedikit. Hal ini juga berpengaruh dengan warung milik ibunya karena
ikan yang diolah oleh Ibunya berasal dari ikan hasil tangkapan ayahnya.
Suatu
malam, sebelum ayahnya pergi melaut, Putra melihat kedua orang tuanya sedang
berunding di ruang tamu. Ibu membawakan ayah secangkir kopi. Ibu melihat raut
wajah Ayah yang tampak gelisah. Ibu pun bertanya kepada Ayah.
"Semakin
hari semakin sedikit saja ikan yang ayah tangkap," jawab Ayah dengan nada
gelisah. Ibu ikut termenung dengan kalimat Ayah.
"Iya
Yah.. persediaan ikan untuk di warung Ibu juga jadi makin sedikit," jawab
Ibu.
Banyak
sekali ikan yang mati akibat sampah-sampah plastik yang ada di laut. Laut Desa
Nelayan kini telah tercemar. Tidak hanya di laut, peisisir pantai Desa Nelayan
yang dulunya bersih dan asri kini menjadi kotor akibat sampah-sampah plastik
yang berserakan di pesisir pantai.
Secangkir
kopi telah habis diminum oleh ayah. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul
delapan malam, sudah waktunya Ayah pergi untuk melaut. Ayahpun beranjak bangun
dari kursi, berpamitan dengan Ibu.
Mendengar
percakapan kedua orangtuanya, Putra ikut merasa gelisah akan hal tersebut. Ini
tidak hanya masalah ekonomi keluarganya. Namun, ini juga masalah lingkungan di
sekitarnya. Lingkungan pesisir pantai yang sangat ia cintai sejak kecil.
Keesokan
harinya, Putra pergi ke pesisir pantai, duduk di atas pasir sambil menatap laut
biru di hadapannya. Ia masih memikirkan hal yang dibicarakan orang tuanya
kemarin malam. Tak lama kemudian terdengar teriakan seseorang dari kejauhan.
Benar saja, ia adalah Andika, sahabat Putra sejak kecil. Andika duduk di
samping Putra, ikut menikmati suasana Pantai Desa Nelayan yang tenang.
“Kamu
kangen pantai kita yang dulu nggak sih?” ucap Putra mencairkan suasana. Andika
awalnya tidak mengerti apa yang dimaksud oleh sahabatnya. Namun, setelah
melihat lingkungan pesisir pantai di sekitarnya, ia langsung mengerti apa yang
dimaksud oleh sahabatnya. Hal ini sudah banyak dirasakan oleh banyak warga di
Desa Nelayan, terutama para nelayan yang bekerja untuk mencari ikan.
“Sebenarnya
kemarin aku mendengar percakapan orang tuaku tentang masalah ini. Ayahku
semakin hari semakin sedikit mendapat ikan. Katanya banyak ikan yang mati
karena tercemar sampah-sampah ini” ucap Putra memperjelas apa yang Ia maksud di
kalimat sebelumnya. Andika merasakan kegelisahan yang dirasakan sahabatnya.
Andika tiba-tiba terbangun dari duduknya.
“Ini
nih ya, gara-gara ulah manusia-manusia yang nggak ada rasa tanggung jawab!”
ucap Andika sambil melipat tangannya di depan dada seperti orang tidak terima.
Putra pun tertawa melihat tingkah laku sahabatnya, membuat wajah dengan
eksperesi heran. Tepat saat Andika berbicara, ada seorang pria yang membuang
sampah sembarangan. Tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat dari posisi
Andika duduk bersama Putra.
“Seperti
pria itu contohnya” ucap Putra sambil menunjuk pria yang membuang sampah
plastik sembarangan. Pria itu menjadi mangsa pertama bagi Andika. Dalam sekejap
Andika menghilang, Ia berlari menuju pria itu sebelum kehilangannya.
“Maksud
Kakak buang sampah di sana apa ya, Kak?!” tanya Andika sambil memasang wajah
tidak terima ditambah dengan melipat tangannya di depan dada. Pria itu kaget
dengan keberadaan Andika.
“Oh
itu.. Emm itu.. tadi tidak sengaja hehe,” jawab pria itu dengan polos.
“Ooh
tidak sengaja ya?” jawab Andika dengan nada menyindir.
“Kalau
tidak sengaja, mending sekarang kakak buang ke tempat yang seharusnya!” tambah
Andika dengan intonasi tinggi. Dengan polosnya pria itu menuruti perintah
Andika. Namun, sudah seharusnya pria sadar diri bahwa hal yang ia lakukan tadi
bukanlah hal yang terpuji. Andika pun kembali mencari Putra yang ia tinggal
tadi secara tiba-tiba, ia bergegas, dan berlari.
“Gimana,
Put? Udah cocok belum jadi duta kebersihan lingkungan?” ucap Andika sambil
memperagakan gaya superhero. Putra terkekeh dengan apa yang dilakukan
sahabatnya barusan. Mereka pun duduk kembali di atas pasir pantai Desa Nelayan
yang sudah sering kali mereka duduki sejak kecil, pasir di Desa Nelayan tidak
kalah halus dengan salju di luar sana.
“Eh
iya, ngomongin soal duta, keren nggak sih kalo kita buat geng bersih-bersih
sampah gitu?” tanya Andika. Mendengar hal itu, Putra mempunyai ide untuk
membentuk suatu komunitas Bernama Komunitas Peduli Lingkungan. Mengingat
tingkat kepedulian manusia yang semakin berkurang terhadap lingkungan di
sekitarnya.
“Ide
bagus, Put! Gimana kalo kita ajak temen yang lain juga?” ucap Andika.
Tidak
berlama-lama lagi, mereka pun langsung pergi ke pondok yang biasanya menjadi
tempat bermain mereka dan teman-teman di Desa Nelayan. Sesampainya di pondok,
mereka melihat ketiga temannya sedang bersantai di atas pondok yang terbuat
dari kayu itu. Tiga sekawan itu adalah Andin, Arga, dan Aurel. Sering kali
dijuluki dengan sebutan “Triple A”. Mereka adalah tiga sekawan yang akrab,
sudah seperti persahabatan bagai kepompong. Namun, terkadang salah satu dari
mereka sering kali keras kepala saat diberitahu. Siapakah salah satu dari
mereka itu?
“Hai,
teman-teman!” sapa Andika. Tiga sekawan itupun membalas sapaan Putra.
“Teman-teman,
kalian sedang sibuk tidak?” tanya Putra, memastikan bahwa ia tidak menganggu
waktu teman-temannya.
“Tidak
sih, kami sedang merasa bosan. Bukankah begitu Andin, Aurel?” ucap Arga. Putra
pun menceritakan apa yang terjadi pada lingkungan di sekitar mereka, Putra juga
memberitahu tiga sekawan itu tentang ide yang ia pikirkan terkait pembentukan
Komunitas Kita Peduli Lingkungan. Tiga sekawan itu menerima ide dari Putra
dengan positif. Namun, tidak bagi Andin.
“Ngapain
sih buat komunitas segala emang kita mau ngapain nanti? Mungut sampah? Kayak
pemulung aja!” ucap Andin. Kata-kata yang sungguh menyakitkan bagi Putra.
“Andin,
kamu ga boleh gitu. Bener loh kata Putra, aku juga ngerasa pantai kita nggak
sebersih dulu. Selain merusak estetika pantai Desa Nelayan, itu juga bikin
ekosistem di dalam laut jadi rusak lho. Apa ga kasian sama ikan-ikan dan
hewan-hewan laut di bawah sana yang mati akibat sampah-sampah plastik?” ucap
Aurel menasihati Andin yang tidak setuju dengan ide Putra.
“Emang
ada pengaruhnya kalo yang bersihin cuma kita-kita aja? Halah ga guna!” jawab
Andin yang tetap enggan untuk ikut melakukan hal tersebut.
“Kalau
semua orang punya pemikiran kayak gitu, terus siapa dong yang mau peduli sama
lingkungan di sekitar kita? Kalau bukan kita terus siapa lagi? Dan kalau tidak
sekarang lalu kapan lagi? Apakah kita harus menunggu bencana melanda desa kita,
baru kita melakukan hal itu?” ucap Putra menegaskan kembali maksud dan tujuan
idenya untuk membentuk komunitas kecil ini.
“Ya
sudah kalo Andin ga mau, kita berempat aja. Gimana? Yuk?” kata Andika sambil
memasang wajah semangat. Putra, Aurel, dan Arga pun membalas ajakan Andika
dengan kompak. Mereka berempat pun langsung mencari karung sebagai tempat
sampah, dan mulai memunguti sampah-sampah plastik yang ada di pesisir pantai
dengan semangat tanpa ada rasa paksaan sedikitpun. Ibu Putra dari kejauhan
tersenyum melihat putranya yang memiliki kesadaran akan lingkungan di
sekitarnya. Putra memang sangat mencintai lingkungannya yang ia tinggali sejak
kecil.
Sudah
beberapa hari, Putra dan teman-temannya melakukan hal itu. Tidak ada rasa lelah
bagi mereka, justru semakin lama mereka semakin semangat setelah melihat
perubahan keadaan pantai mereka akhir-akhir ini. Semakin hari, semakin banyak
anak-anak muda Desa Nelayan yang ikut komunitas mereka.
Dari
kejauhan, di pondok, Andin melihat keempat temannya itu memungut sampah yang
tak kenal lelah. Sudah hampir 4 hari ini ia tidak ada teman untuk diajak
bermain dan mengobrol santai di pondok. Ia merasa kesepian. Andin berpikir
mereka tidak akan melakukan hal itu secara berkelanjutan. Ia berpikir mereka
tidak akan melakukannya seserius ini. Ia pikir itu hanya sebuah omong kosong.
Andin merasa bersalah setelah melontarkan kata-kata yang Ia katakan tempo hari
kepada teman-temannya. Tak lama kemudian, Andin pun menghampiri mereka.
“Hai,
teman-teman..” sapa Andin sambil menahan rasa malu, menundukkan kepalanya.
“Eh
Andin, ada apa? Mau ikut memungut sampah ini bersama kami?” tanya Putra dengan
halus.
Andin
mengangguk, “Maaf ya teman-teman kemarin aku keras kepala, tidak mau ikut
kalian. Padahal ini adalah ide yang bagus,” ucap Andin meminta maaf kepada
keempat temannya.
“Tidak
apa, Andin. Sini ikut kami” balas Putra sambil tersenyum. Andin pun mengangguk
dengan penuh semangat, ikut membantu keempat temannya untuk memungut
sampah-sampah plastik itu.
Tak
terasa, hampir seminggu lebih mereka melakukan hal yang sama, semakin banyak
anak-anak muda yang mengikuti Komunitas Peduli Lingkungan tersebut. Mereka
berlima menjadi panutan anak-anak muda di Desa Nelayan. Para orang tua dan
warga yang lainnya merasa sangat terharu sekaligus bangga dengan apa yang telah
mereka lakukan dan tingginya kesadaran mereka akan lingkungan di sekitarnya.
Mereka mendapat apresiasi yang luar biasa dari warga Desa Nelayan.
Sampah-sampah plastik yang mereka kumpulkan disulap menjadi kerajinan-kerajinan
tangan. Seperti, tas belanja, pot tanaman, dan yang lainnya.
Telah menjadi kesadaran diri mereka
masing-masing bahwa sudah menjadi tugas kita semua untuk menjaga lingkungan
sekitar agar tetap bersih dan terhindar dari pencemaran khususnya pencemaran
air di laut. Dengan begitu ekosistem laut akan terjaga dengan baik, ikan-ikan
tidak lagi mati akibat memakan sampah plastik yang tidak seharusnya ada di
laut. Ekonomi para nelayan pun akan berlangsung dengan baik, tanpa mencemaskan
jumlah tangkapan ikan yang semakin hari semakin sedikit akibat pencemaran air.
Jaring para nelayan akan diisi dengan ikan-ikan yang segar, tidak lagi diisi
dengan sampah-sampah plastik. Maka dari itu, sudah menjadi tugas kita anak-anak
muda untuk melakukan perubahan. Perubahan tidak harus dimulai dengan hal yang
besar, kita bisa memulainya dengan hal-hal kecil dari diri kita sendiri seperti
Putra dan teman-temannya.
.jpg)
Komentar
Posting Komentar